widget

Haji Mabrurkah Anda ?

Cobalah anda simak baik-baik, apakah anda sudah haji atau belum sebuah kisah seorang sufi yang dihampiri oleh orang sepulang berhaji. Kisah tersebut terjadi antara Al-Syibli dengan seorang tokoh sufi bernama Zainal Abidin;

Sepulang menunaikan ibadah haji, Al-Syibli segera menemui Zainal Abidin seorang sufi besar dari keluarga Rasulullah saw.  Dalam pertemuan itu Zainal Abidin bertanya kepada Al-Syibli secara bertubi-tubi. Pertanyaan tersebut antara lain;

1.      Ketika engkau sampai di miqat dimana engkau menanggalkan pakaian berjahit, sebagai simbol keduniawian apakah engkau berniat juga menanggalkan pakaian kemaksiatan dan berganti dengan pakaian ketaqwaan? Apakah saat itu juga engkau tanggalkan riya dalam segala hal.? Apakah engkau juga menanggalkan sifat kemunafikan dan yang subhat.?

2.      Ketika engkau berihram tanda engkau memulai kegiatan haji, apakah engkau bertekad mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan Allah, lalu engkau hanya mencari yang halalan dan tayyiban.?

3.      Ketika engkau menuju kota suci Makkah, apakah engkau berniat untuk berjalan menuju Allah karena di sana terdapat Baitullah?

4.      Ketika engkau memasuki masjidil Haram di mana manusia dari seluruh dunia datang, apakah engkau berniat untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak berucap apapun kecuali berdzikir kepada Allah?

5.      Ketika engkau sa’i apakah engkau merasa sedang menuju dan lari menuju Allah di antara cemas dan penuh harap, sebagaimana disimbolisasikan oleh Siti Hajar yang sedang mencari air demi kelangsungan hidup putranya Ismail?

6.      Ketika engkau wukuf di Arafah, adakah engkau merasakan bahwa Allah mengetahui segala kejahatan masa lalumu yang tersembunyi dan engkau sengaja sembunyikan?

7.      Ketika engkau berangkat ke Muna (Mina) apakah engkau bertekad untuk tidak mengganggu orang lain dengan lidahmu, tanganmu dan hatimu seperti yang dilakukan oleh syetan terhadap Nabi Ibrahim Alaihissalam.

8.      Dan ketika engkau melempar jumrah apakah engkau juga berniat memerangi iblis yang sering bersarang di hatimu?

Mendengar pertanyaan Zainal Abidin yang bertubi-tubi itu, Al-Syibli terdiam seribu bahasa. Ia hanya berkata “tidak”. Mendengar jawaban Al-Syibli itu, Zainal Abidin lalu berkata: “Wahai kawan“ engkau belum pergi ke miqat, belum berihram, belum thawaf, belum sa’i belum wukuf, belum ke Muna (Mina), dan belum melempar jumrah. Mendengar ucapan itu Al-Syibli menangis, karena pertanyaan yang diajukan Zainal Abidin bukan saja benar, melainkan telah menghujam hatinya, hingga ia sadar bahwa ibadah hajinya baru sebatas kulit, belum isi, baru lahiriyah belum yang esensi.

Kisah ini diharapkan dapat menjadi cermin bagi kita semua baik yang sudah pernah haji, maupun untuk yang berniat akan melaksanakan haji hingga akan lebih berhati-hati, berbekal ketaqwaan yang cukup sesuai amanat Alqur’an.

Setiap orang yang berhaji dapat dipastikan mendambakan ibadah hajinya sukses dengan baik, diterima Allah SWT yang diistilahkan dengan mendapat predikat haji mabrur. Apakah ia dengan menggunakan fasilitas ONH biasa atau ONH Plus, merupakan perjuangan berat yang harus dilalui guna meraih balasan surga sebagaimana dijanjikan Allah. “Balasannya orang haji mabrur adalah Jannatun Na’iim”. Akan tetapi tidak semua orang yang berharap mendapat prediket haji mabrur dapat menjalani prosesi ritus itu dengan baik, terutama dalam menekan rasa kesombongan dan keduniawian manusia.

Paling tidak ada tiga peringkat haji yang dilaksanakan oleh seseorang, yaitu haji mabrur, haji maqbul dan haji ma’zul (tertolak), yaitu:

Peringkat pertama yaitu haji mabrur yakni haji yang diterima Allah SWT. Haji mabrur lebih memprioritaskan sikap sabar, ikhlas dan selalu tawakkal kepada Allah. Sikap ini harus sudah dipersiapkan seseorang sejak sebelum berangkat ke tanah suci Makkah dan diaplikasikan selama menunaikan ibadah haji dan kemudian tercermin setelah pulang dari ibadah haji.

Apa makna mabrur sebenarnya. Kata mabrur yang berasal dari bahasa Arab terambil dari akar kata “al-bir”, yang berarti baik dan bijaksana. Menurut Ibnu Mandzur penulis kitab Lisanul Arab, kata mabrur mengandung dua makna yaitu baik, suci atau bersih. Dalam konteks ibadah haji, mabrur bermakna bersih dari noda dan dosa. Sedang makna yang kedua mabrur berarti makbul artinya diterima dan mendapat ridha Allah SWT.

Menurut Ibnu Hajar al-Asqolani, haji mabrur tidak sekedar haji yang diterima, tetapi haji mabrur berarti haji yang dapat menjadikan pelakunya berkeinginan kuat untuk mengekspresikan dan meningkatkan kebajikan yang berkesinambungan setelah yang bersangkutan menunaikan ibadah haji.

Kemabruran haji seseorang tercermin dari sikap, prilaku, ucapan dan tindakan di tanah airnya sepulang menunaikan ibadah haji. Seseorang yang berprediket haji mabrur tentulah selalu bersikap arif, dan lebih alim dibanding dengan sebelum menunaikan ibadah haji. Dia menyadari benar bahwa selama ia menunaikan dan mengikuti ritus-ritus haji tidak lain merupakan medan pelatihan rohani sehingga pasca haji ia segera mengimplementasikan hasil pelatihan itu dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut hadits Rasulullah ada tiga indicator seseorang dipandang hajinya mabrur yaitu memiliki kemauan memberi makan, berusaha bertutur kata yang baik yang berguna dan selalu menebarkan kedamaian.

Ketiga indikator itu kemudian ditafsirkan oleh Imam Hujjatul Islam Al-Ghazali sebagai berikut: Memberi makan menurutnya sebagai simbol kesediaan kita untuk berbagi keni’matan dengan sesama serta kesanggupan untuk menginfakkan sebahagian hartanya kepada kaum dhua’fa yang membutuhkan. Bertutur kata yang baik menurut al-Ghazali berarti berbudi luhur dan berakhlaq mulia. Akhlaq ini selain diimplementasikan di tanah suci juga diterapkan di tanah air dalam kehidupan sehari-hari. Dari akhlaq yang mulia inilah kemudian dikembangkan untuk menyebarkan rasa perdamaian, kasih sayang   demi misi kemanusiaan sebagai rangkaian tugas hablum minan nas.

Peringkat kedua, haji maqbul yaitu jenis ibadah haji termasuk yang diterima Allah SWT. Bila pelaksanaannya dilakukan secara ikhlas, namun dengan takdir Allah ia wafat saat tengah ibadah haji, walau ia belum sampai pelaksanaan wukuf di Arafah. Padahal haji seperti yang dijelaskan hadits Nabi adalah Arafah (Al Hajju Arafah).

Ibadah seperti ini tetap diterima Allah dan mendapat pahala sejauh yang telah ia laksanakan berikut amal-amal shalehnya, terlebih orang tersebut sudah meniatkan diri untuk menunaikan salaha rukun Islam.

Peringkat ketiga yaitu haji ma’zul atau haji majhul. Ini berarti haji yang jahil yang dilakukan oleh seseorang tanpa pengetahuan, tanpa ilmu apalagi sampai memahami simbol-simbol ritual haji yang ia laksanakan. Penjelasan ini sesuai dengan peringatan Nabi Muhamad bahwa amal seseorang akan tertolak, kecuali didasari dengan pengetahuan. (HR.Bukhori-Muslim)

Indikator dari ditolaknya amal dan ibadah haji itu dapat dilihat sepulangnya dari menunaikan ibadah haji. Misalnya ia masih suka dan senang melanggar larangan-larangan agama atau dengan tanpa menyesal meninggalkan yang diperintahkan agama. Semoga bermanfaat (aby)

Disarikan dari buku Dr.H.Fachrurozi, MA “Meraih Haji Mabrur”. Penulis adalah editor dari buku tersebut.

0 komentar: