Belum hapus dari ingatan tentang seorang ibu yang mencabut laporannya terhadap suaminya yang gemar memukul, kembali ada berita KDRT tentang seorang ibu yang hanya karena dia ‘berani’ meminta ongkos lahiran kepada suaminya malah dihadiahi aneka variasi tinjuan dan tendangan yang mengakibatkan sang ibu melahirkan keesokan harinya dalam kondisi babak belur. Tentu saja persalinannya tetap tidak dibayar oleh ayah teladan tersebut dan tidak dilaporkan ke polisi. Duuuh!!!
Geram belum selesai ada lagi berita KDRT. Kali ini nggak jauh-jauh banget, dari rumah ibu saya sendiri. Nggak, bukan ibu saya tapi pembantunya datang untuk bekerja dengan facial art of cut lip and bruises. Dan, tentu saja pembantu ibu saya ini juga sedang hamil dan juga takut melaporkan suaminya. Oy!
Ibu yang pertama mempunyai beberapa anak yang masih kecil-kecil, dia tidak bisa meninggalkan mereka untuk bekerja sehingga aduannya ditarik kembali. Ibu kedua menyatakan tidak mau melapor karena tidak ingin anaknya lahir tanpa ayah atau dengan ayah yang berada di penjara. Sementara calon ibu yang ketiga mengatakan ingin mati daripada hidup seperti ini.
Kebetulan ketiga perempuan diatas berasal dari golongan ekonomi lemah. Tapi KDRT tidak pandang bulu. Mereka yang mengendarai mobil mewah dan menyekolahkan anak2nya di sekolah mahal ada yang merelakan dirinya menjadi tempat latihan pukulan dengan stik golf demi anak2. KDRT betul2 lintas batas.
Mengapa para ibu ini rela menggadaikan nyawa dan jiwa mereka serta mengorbankan jiwa anak-anak mereka?
Saya berusaha memahami alasan ekonomi. Memang hidup disini sekarang susah dan mereka tidak diberi kesempatan untuk maju. Pahit. Mereka perlu kesempatan dan dukungan. Tetapi untuk mempertahankan perkawinan? Supaya anaknya punya ayah? Perkawinan macam apa? Ayah macam apa? Apa yang ingin diajarkan para ibu ini kepada anak-anaknya? Bahwa kekerasan, baik mental maupun fisik itu sesuatu yang normal? “Tapi Bu, kalau lagi nggak marah dia baik sekali kok!”
Ok, tapi begitu dia marah kamu izin sakit dan begitu datang kerja dengan keadaan bibir pecah, mata bengkak, pipi lebam, dan perlu cek kandungan ke bidan. Begitukah perilaku orang baik? Bagaimana jika dia belum puas memukuli dirimu, dia sambung dengan memukuli anakmu? Kalau hanya ‘dipukuli’, kalau kamu sudah lebam-lebam dan tidak menarik sehingga dia melampiaskan hasratnya ke anak perempuanmu?
Sekali lagi, mengapa menggadaikan nyawa?
Bagaimana kalau suatu saat dia betul-betul kehilangan kendali dan meninjumu tepat di solar plexus? Atau kamu yang kehilangan kontrol sehingga pisau yang sedianya untuk mengiris bawang bersarang di dadanya? Atau justru anakmu, tak tahan melihat ibunya memohon-mohon ampun melayangkan palu ke kepala ayahnya? Terlalu ekstrem? Percayalah, hal-hal ini sudah pernah terjadi.Artikel demi artikel menyatakan (atau kalau sering nonton Oprah), KDRT hanya bisa dihentikan oleh pelaku kalau pelakunya ikut terapi dan konseling, alternatif lainnya bila bila korban pergi dari lingkungannya. Karena apabila dari diri pelaku tidak ada kemauan untuk ikut terapi, biar dia minum segentong air pencuci kaki korban, tidak akan ada perubahan. Mungkin, tapi amat sangat tipis. Apabila dari diri korban tidak ada kesadaran bahwa dirinya berharga, maka dia akan terus teraniaya. Percuma saja mengambil si korban dari rumahnya karena kemungkinan dia kembali lagi sangat besar. Kalau belum ‘dong’ ya nggak efek.
Sementara itu bagaimana dengan jiwa anak-anak yang tumbuh dalam situasi demikian? Anak yang lahir dengan suci, direnggut dengan paksa. Jiwanya dirusak oleh darahnya sendiri yang seharusnya melindunginya dan menyayanginya. Sekali lagi, anak yang tumbuh di lingkungan KDRT berpotensi menjadi pelaku atau korban KDRT di masa depan. Kenapa? Karena dia tidak tau bagaimana mengekspresikan perasaannya selain melalui kekerasan karena hanya itulah yang dia pelajari waktu kecil. Tentu saja ini tidak berlaku untuk semua anak korban KDRT, tapi kenapa meriskirkan? Why chance it? Siklus ini tidak bisa dipatahkan kecuali ada kesadaran untuk berhenti melakukan atau diperlakukan.
Hargailah anak-anak kita. Beri mereka pendidikan dan tanamkan harga diri mereka dengan cinta dan kasih sayang. Jangan pupuk benih-benih kekerasan
Geram belum selesai ada lagi berita KDRT. Kali ini nggak jauh-jauh banget, dari rumah ibu saya sendiri. Nggak, bukan ibu saya tapi pembantunya datang untuk bekerja dengan facial art of cut lip and bruises. Dan, tentu saja pembantu ibu saya ini juga sedang hamil dan juga takut melaporkan suaminya. Oy!
Ibu yang pertama mempunyai beberapa anak yang masih kecil-kecil, dia tidak bisa meninggalkan mereka untuk bekerja sehingga aduannya ditarik kembali. Ibu kedua menyatakan tidak mau melapor karena tidak ingin anaknya lahir tanpa ayah atau dengan ayah yang berada di penjara. Sementara calon ibu yang ketiga mengatakan ingin mati daripada hidup seperti ini.
Kebetulan ketiga perempuan diatas berasal dari golongan ekonomi lemah. Tapi KDRT tidak pandang bulu. Mereka yang mengendarai mobil mewah dan menyekolahkan anak2nya di sekolah mahal ada yang merelakan dirinya menjadi tempat latihan pukulan dengan stik golf demi anak2. KDRT betul2 lintas batas.
Mengapa para ibu ini rela menggadaikan nyawa dan jiwa mereka serta mengorbankan jiwa anak-anak mereka?
Saya berusaha memahami alasan ekonomi. Memang hidup disini sekarang susah dan mereka tidak diberi kesempatan untuk maju. Pahit. Mereka perlu kesempatan dan dukungan. Tetapi untuk mempertahankan perkawinan? Supaya anaknya punya ayah? Perkawinan macam apa? Ayah macam apa? Apa yang ingin diajarkan para ibu ini kepada anak-anaknya? Bahwa kekerasan, baik mental maupun fisik itu sesuatu yang normal? “Tapi Bu, kalau lagi nggak marah dia baik sekali kok!”
Ok, tapi begitu dia marah kamu izin sakit dan begitu datang kerja dengan keadaan bibir pecah, mata bengkak, pipi lebam, dan perlu cek kandungan ke bidan. Begitukah perilaku orang baik? Bagaimana jika dia belum puas memukuli dirimu, dia sambung dengan memukuli anakmu? Kalau hanya ‘dipukuli’, kalau kamu sudah lebam-lebam dan tidak menarik sehingga dia melampiaskan hasratnya ke anak perempuanmu?
Sekali lagi, mengapa menggadaikan nyawa?
Bagaimana kalau suatu saat dia betul-betul kehilangan kendali dan meninjumu tepat di solar plexus? Atau kamu yang kehilangan kontrol sehingga pisau yang sedianya untuk mengiris bawang bersarang di dadanya? Atau justru anakmu, tak tahan melihat ibunya memohon-mohon ampun melayangkan palu ke kepala ayahnya? Terlalu ekstrem? Percayalah, hal-hal ini sudah pernah terjadi.Artikel demi artikel menyatakan (atau kalau sering nonton Oprah), KDRT hanya bisa dihentikan oleh pelaku kalau pelakunya ikut terapi dan konseling, alternatif lainnya bila bila korban pergi dari lingkungannya. Karena apabila dari diri pelaku tidak ada kemauan untuk ikut terapi, biar dia minum segentong air pencuci kaki korban, tidak akan ada perubahan. Mungkin, tapi amat sangat tipis. Apabila dari diri korban tidak ada kesadaran bahwa dirinya berharga, maka dia akan terus teraniaya. Percuma saja mengambil si korban dari rumahnya karena kemungkinan dia kembali lagi sangat besar. Kalau belum ‘dong’ ya nggak efek.
Sementara itu bagaimana dengan jiwa anak-anak yang tumbuh dalam situasi demikian? Anak yang lahir dengan suci, direnggut dengan paksa. Jiwanya dirusak oleh darahnya sendiri yang seharusnya melindunginya dan menyayanginya. Sekali lagi, anak yang tumbuh di lingkungan KDRT berpotensi menjadi pelaku atau korban KDRT di masa depan. Kenapa? Karena dia tidak tau bagaimana mengekspresikan perasaannya selain melalui kekerasan karena hanya itulah yang dia pelajari waktu kecil. Tentu saja ini tidak berlaku untuk semua anak korban KDRT, tapi kenapa meriskirkan? Why chance it? Siklus ini tidak bisa dipatahkan kecuali ada kesadaran untuk berhenti melakukan atau diperlakukan.
Hargailah anak-anak kita. Beri mereka pendidikan dan tanamkan harga diri mereka dengan cinta dan kasih sayang. Jangan pupuk benih-benih kekerasan
2 komentar:
Saya sepakat tentang pesan dalam tulisan ini, kebetulan baru menulis soal KDRT juga di http://www.lovablerisingstar.blogspot.com/.
Selain konseling dan terapi, setuju tidak jika pelaku harus diproses secara hukum juga? :)
Semua yang melanggar perundang-undangan yang sah apalagi ini sudah (menurut saya pribadi)masuk ranah pidana jd memang harus mendapat proses hukum sesuai dengan taraf pelanggarannya, satu hal lagi dalam penanganan kasus seperti ini hendaknya janganlah sampai ada tebang pilih yang punya duit karena bisa bayar pengacara bisa ringan bahkan bebas tapi masyarakat kecil malah menanggung yang sebaliknya.
Post a Comment